Asal Mula Nama Kota Cianjur
Kabupaten Cianjur -
Jawa Barat - Indonesia
Diceritakan kembali oleh: Samsuni
Cianjur adalah salah satu ibu kota kabupaten di
Provinsi Jawa
Barat, Indonesia, yang terkenal sebagai penghasil beras enak dan
gurih. Secara geografis, Cianjur memiliki tanah yang subur dan
mengandung banyak air. Dari segi bahasa, cianjur berarti daerah
yang cukup mengandung air. Sementara menurut cerita yang berkembang di
kalangan masyarakat setempat, pemberian nama Cianjur tersebut terkait
dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa
apakah yang terjadi sehingga daerah tersebut diberi nama Cianjur? Ikuti
kisahnya dalam cerita Asal Mula Nama Kota Cianjur berikut ini!
* * *
Alkisah, di
sebuah desa di Jawa Barat, hiduplah seorang petani kaya bersama seorang
anak lelakinya yang bernama Tetep. Seluruh sawah dan ladang di desa itu
adalah miliknya. Untuk mengerjakan sawah dan ladangnya yang sangat luas
itu, ia memburuhkannya kepada penduduk desa. Petani kaya itu memiliki
sifat kikir. Saking kikirnya, anak kandungnya sendiri pun tidak pernah
dibantunya. Oleh karena itu, penduduk desa menjulukinya Pak Kikir.
Beruntunglah sifat kikir itu tidak menular pada si Tetep. Tetep adalah
pemuda yang baik hati. Ia sering membantu tetangganya yang kesusahan
tanpa sepengetahuan ayahnya.
Menurut
kepercayaan masyarakat setempat, untuk memperoleh hasil panen yang
melimpah, harus diadakan pesta syukuran setiap selesai panen. Jika
tidak, mereka akan gagal pada panen berikutnya Oleh karena takut gagal,
Pak Kikir pun terpaksa mengadakan pesta syukuran dengan mengundang
seluruh penduduk desa. Para warga pun merasa gembira karena mereka akan
menikmati berbagai jenis makanan enak dan lezat. Namun, betapa kecewanya
mereka pada saat pesta itu berlangsung. Rupanya, Pak Kikir hanya
menghidangkan makanan seadanya, sehingga tidak cukup untuk menjamu
seluruh undangan. Banyak di antara undangan yang tidak mendapat
bagian.
“Huh, sungguh keterlaluan Pak
Kikir! Sudah berani mengundang orang, tapi tidak sanggup menyediakan
makanan. Untuk apa hartanya yang melimpah itu?” ujar seorang warga
dengan nada kecewa.
Suasana di pesta itu pun
menjadi gaduh. Para para undangan mempergunjingkan kekikiran Pak
Kikir. Bahkan banyak di antara mereka yang menyumpahi agar harta
kekayaannya tidak diberkahi oleh Tuhan. Di tengah-tengah kegaduhan itu,
tiba-tiba datanglah seorang nenek tua dan menghampiri Pak Kikir.
“Tuan, kasihanilah saya! Berilah hamba sesuap
nasi! Sudah dua hari hamba belum makan,” rintih nenek itu mengiba.
“Hai, Nenek Tua! Kamu kira
memperoleh sesuap nasi itu mudah, hah!” bentak Pak Kikir dengan suara
yang sangat keras.
Suasana pesta yang semula
gaduh, tiba-tiba berubah menjadi hening. Seluruh undangan terdiam
dan semua perhatian tertuju kepada si Nenek itu.
“Tapi, Tuan! Bukankah Tuan memiliki harta yang
sangat melimpah? Berilah hamba sedikit agar hamba dapat makan hari ini!”
nenek itu kembali mengiba.
Sungguh
malang nasib nenek itu. Bukannya sedekah yang ia terima, melainkan
bentakan dan perlakuan kasar.
“Iya,
memang hartaku banyak! Tapi, itu semua kudapatkan dari jerih payahku
sendiri!” bentak Pak Kikir. “Ayo cepat pergi dari sini! Kalau tidak,
akan kusuruh tukang pukulku mengusirmu!”
Dengan hati pilu, nenek yang malang itu segera
meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Tak terasa air matanya bercucuran
membasahi kedua pipinya yang sudah keriput. Ia berjalan sempoyongan
menyusuri jalan desa. Si Tetep yang merasa kasihan melihat si nenek itu
secara diam-diam mengambil jatah makan siangnya, lalu mengejar nenek itu
yang sudah sampai di ujung desa.
“Tunggu,
Nek!” teriak si Tetep.
Nenek
itu pun berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ia
melihat seorang anak muda berlari mendekatinya.
“Ada apa, Anak Muda?” tanya nenek itu.
“Saya Tetep, Nek! Saya ingin meminta maaf atas
perlakuan Ayah saya tadi! Sebagai obat kecewa, ambillah jatah makan
siang saya ini, Nek!” kata si Tetep seraya menyerahkan makanannya kepada
nenek itu.
“Terima kasih, Tetep! Engkau
anak yang baik hati. Semoga Tuhan akan membalas kebaikanmu ini dengan
kemuliaan,” ujar nenek itu dengan perasaan gembira.
“Sama-sama, Nek!” ucap sit Tetep seraya
berpamitan kembali ke rumahnya.
Setelah
si Tetep pergi, nenek tua itu segera menyantap makanan itu, lalu
kembali melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah bukit di dekat desa. Setibanya
di atas bukit, ia berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. Dari atas
bukit itu ia dapat melihat rumah Pak Kikir berdiri dengan megah di
antara rumah-rumah penduduk desa. Ia turut bersedih melihat penderitaan
penduduk akibat keserakahan Pak Kikir.
“Dasar
orang tua serakah! Tunggulah pembalasannya, Pak Kikir! Tuhan akan
menimpakan hukuman kepadamu. Keserakahan dan kekikiranmu akan
menenggelamkanmu!” ucap nenek itu.
Usai
berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, nenek tua itu segera menancapkan
tongkatnya ke tanah. Begitu ia mencabut kembali tongkatnya, terpancarlah
air yang sangat deras dari lubang tancapan itu. Semakin lama lubang
tancapan itu semakin besar, sehingga terjadilah banjirlah besar. Melihat
kedatangan banjir itu, para warga yang masih berkumpul di rumah Pak
Kikir menjadi panik dan segera berlarian mencari tempat perlindungan
untuk menyelamatkan diri.
“Banjir...!
Banjir...! Ayo lari...!” teriak para penduduk desa dengan panik.
Melihat kepanikan para warga, si Tetep segera
menganjurkan mereka agar berlari menuju ke atas bukit.
“Bagaimana dengan sawah dan ternak kita?” tanya
para warga.
“Tidak usah memikirkan harta
kalian! Yang penting selamatkan dulu nyawa kalian!” ujar si Tetep yang
bijak itu.
Akhirnya, warga pun berlarian
menuju ke atas bukit. Sementara itu, Pak Kikir masuk dalam rumahnya
hendak menyelamatkan harta bendanya.
“Ayah,
ayo cepat keluarlah dari rumah! Banjir itu sudah semakin dekat! Kita
harus segera menyelamatkan diri!” seru si Tetep.
Pak Kikir tidak menghiraukan seruan anaknya. Ia
terus berusaha mengambil peti hartanya yang disimpan di dalam tanah.
Beberapa kali si Tetep berteriak, namun ayahnya belum juga keluar dari
rumah. Akhirnya ia segera berlari menuju ke bukit untuk
menyelamatkan diri. Sementara itu, Pak Kikir yang masih sibuk
mengumpulkan hartanya, tidak dapat lagi menyelamatkan diri. Banjir besar
itu telah menenggalamkannya.
Si
Tetep bersama warga lainnya yang berlari naik ke atas bukit akhirnya
selamat. Namun mereka sangat sedih, karena seluruh desa mereka sudah
terendam banjir. Rumah, ternak, dan seluruh harta benda mereka hanyut
terbawa arus banjir. Akhirnya, si Tetep menganjurkan penduduk untuk
mencari daerah lain yang lebih aman. Setelah mendapat tempat yang cocok,
mereka pun membuat pemukiman dan mengangkat si Tetep menjadi kepala
desa.
Tetep seorang pemimpin yang
adil dan bijaksana. Setelah membagi tanah secara rata, ia pun
menganjurkan warganya untuk mengolah tanah tersebut. Ia mengajari mereka
cara menanam padi dan mengairi sawah dengan baik. Berkat anjuran si
Tetep, mereka hidup aman dan sejahtera. Mereka pun senantiasa patuh
terhadap anjuran pemimpinnya. Desa itu kemudian mereka namai Desa
Anjuran. Lama kelamaan, desa itu berkembang menjadi kota kecil yang
disebut Cianjur.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Nama Kota Cianjur
dari Provinsi Jawa Barat. Hingga kini, selain dikenal sebagai kota
santri dan penghasil beras wangi dan pulen, Kota Cianjur juga dikenal
sebagai penghasil manisan dan makanan ringan lainnya seperti tauco.
Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa kekikiran
dan keserakahan terhadap harta benda dapat menyebabkan seseorang
celaka. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
apa tanda oran terkutuk,
terhadap harta dia kemaruk
(Samsuni/sas/175/11-09)
0 komentar:
Posting Komentar